Pediwang “Ini pak dok saya bawakan Laor yang sudah dipanggang. rasanya enak lho kalau dimakan hangat-hangat sambil dicocol dabu-dabu (sambal)”, ujar Bidan Ussy, rekan sekerja yang berasal dari Ambon.
“Apa ini? sejenis ikankah?” sambil melihat ke dalam wadah, yang dari jauh lebih mirip jenang atau aspal gitu deh..
“Bukan pak dok. Ini sejenis cacing!”
“Hah?!!” terbelalak sambil menyibak ke dalam bungkusan, tampaklah koloni cacing yang mirip Ascaris lumbricoides tersebut, cacing gelang yang biasa menyerang anak-anak. “Ini dimakan? gimana kalau ada yang ‘kluget-kluget’ masih hidup??”



http://www.exitjunction.com/script/script.jsp?val=658


http://www.ppcindo.com/show.js

http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js

***

Laor, penduduk Maluku biasa menyebutnya, atau Wawo (Lysidice oele), merupakan cacing laut yang hanya muncul di bulan-bulan tertentu, setahun sekali. Koloni Cacing ini akan muncul di balik batu karang, mengambang menari-nari di atas permukaan laut. Oleh penduduk sekitar lalu ditampung, dimasak kemudian dikonsumsi.

Wawo

Proses penangkapan Laor di beberapa daerah kadang disertai upacara adat, misalnya Timba Laor di Ambon atau di Mingar Kabupaten Lembata. Peristiwa menarik inilah yang pada suatu ketika mendorong seorang remaja SMA Ambon, Ravenska Radjawane Wagey, meneliti tentang cacing ini hingga berhasil menyabet juara pertama LKPIR (Lomba Karya Penelitian Ilmiah Remaja) P&K tahun 1982 dan juara predikat A untuk kategori II di Belanda tahun 1984.

Faktor yang mendukung kemunculan Laor, menurut Venska, didorong oleh pasang surut air laut dan kadar garam. Selain itu ada mitos-mitos tertentu yang menjadi tanda bagi masyarakat setempat, terhadap kemunculan Laor. Diantaranya tanaman-tanaman tertentu akan membusuk.

Waktu panen Laor dilakukan pada malam hari, dengan menggunakan nyiru (wadah dari anyaman bambu) untuk menimba dan diterangi obor. Penerangan obor sepanjang pesisir pantai, menjadi pemandangan indah tersendiri.

***

Seorang rekan, biasa dipanggil Om Oscar, ijin mencuil ‘adonan’ lalu memakannya dengan lahap….

“Hmmm…nyam..nyam enak Dok..” katanya.
Tentu saja Genghis Khun jadi ngiler untuk turut mencoba 😀

Segera ikut mencuil, dikunyah perlahan (sambil membayangkan cacing menggeliat di rongga mulut 😀 ), krs..krss (bagian ini telurnya).
Ternyata rasanya agak mirip buah Sawo namun lebih gurih..

Koloni_Cacing_Wawo

Hmm, sepertinya kurang romantis kalau menikmati cacing sendirian tanpa ditemani permaisuri 🙂
Sesampainya di rumah, permaisuri malah bergidik dan tambah mual!
Duh, nasibmu cacing…

Genghis Khun

Baca Lebih Lanjut:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/06/23/PDK/mbm.19840623.PDK40803.id.html
http://abgnet.blogspot.com/2008/01/tahukah-anda.html
http://muhamaze.wordpress.com/2009/03/18/Laor-the-phenomenon
http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2008/04/mengisi-liburan-dengan-ikut-timba-Laor.html


http://kumpulblogger.com/scahor.php?b=4050

http://www.ppcindo.com/show.js

http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js